12/21/2019

LONGSOR DI BANJARNEGARA


A.  Komponen Pemicu (Trigger)
Ada beberapa hal yang menyebabkan kelongsoran di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah Tanggal 12 Desember 2014, yaitu sebaga berikut ini.

1. Morfologi
Secara umum, geomorfologi terbentuk oleh perbukitan di sedang sampai terjal. Di bagian bawah perbukitan ini terdapat geomorfologi perbukitan bergelombang sedang yang dipergunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, pesawahan, dan perkebunan. Kemiringan lereng yang diamati pada daerah bukit Telagalele yang merupakan tebing sangat terjal bagian selatan (daerah awal terjadinya longsor) sekitar 75° dari puncak mahkota longsor. Kemiringan lereng di bawahnya lebih landai lagi yang digunakan untuk permukiman, persawahan dan perladangan. Ketinggian mahkota longsor adalah 990–1.010 meter di atas permukaan laut (dpal). Jarak antara mahkota longsor dengan titik akhir terpanjang ke arah barat laut sekitar 600 meter. Arah dari posisi tengah mahkota longsor adalah N 190° E.

2. Batuan 
Menurut peta geologi dari Condon et al (1975), batuan yang terdapat di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar dan sekitarnya terbentuk oleh Satuan Qiya, Qjm, Qjma, Qjo merupakan lava andesit dan batuan klastika gunungapi dari gunungapi yang tersayat dari Pegunungan Jembangan, terutama andesithiperstenaugit; setempat-setempat mengandung hornblende dan setempat-setempat basal olivin. Qiya dan Qjma merupakan lahar dan endapan aluvium yang terdiri dari bahan rombakan gunungapi, serta aliran lava dan breksi aliran dalam jumlah yang tidak begitu banyak. Satuan Qjm dan Qjo merupakan aliran lava, breksi aliran, breksi piroklastika, lahan dan endapan alluvium. Batuan penutup berupa soil di bagian atas, berasal dari pelapukan batuan breksi vulkanik. Breksi vulkanik banyak mengandung tufa dan material lain yang mudah mengalami pelapukan, sehingga bisa membentuk soil dengan ketebalannya lebih dari 5 meter. Di beberapa tempat terlihat pula soil hasil pelapukan dari batuan tufa yang berwarna coklat muda kekuningan. Lapisan soil kemudian bergradasi ke batuan breksi vulkanik yang relatif tidak terlapukan di bagian bawahnya (ukuran komponen antara pasir sampai dengan bongkah, besar komponen ratarata sekitar 5–10 cm; dengan matriks pasir halus – lanau). Di bagian bawah material lapuk (soil) yang berupa batuan breksi vulkanik, terdapat bidang batas antara batuan lunak dan batuan keras yang berfungsi sebagai bidang gelincir longsor apabila terjadi kejenuhan akibat masuknya air ke dalam pori-pori tanah.

3. Rekahan 
Batuan Sebelum kejadian longsor biasanya didahului dengan terbentuknya rekahan/retakan batuan yang terjadi di bagian atas mahkota longsor. Dijumpai adanya rekahan di atas bukit yang longsor sebagai pertanda terjadinya ketidakstabilan lereng. Rekahan ini menyebabkan air hujan yang jatuh dapat lebih mudah untuk meresap ke dalam tanah dan mempermudah terjadinya kejenuhan tanah.

4. Morfologi
Secara umum, geomorfologi terbentuk oleh perbukitan di sedang sampai terjal. Di bagian bawah perbukitan ini terdapat geomorfologi perbukitan bergelombang sedang yang dipergunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, pesawahan, dan perkebunan. Kemiringan lereng yang diamati pada daerah bukit Telagalele yang merupakan tebing sangat terjal bagian selatan (daerah awal terjadinya longsor) sekitar 75° dari puncak mahkota longsor.
Kemiringan lereng di bawahnya lebih landai lagi yang digunakan untuk permukiman, persawahan dan perladangan. Ketinggian mahkota longsor adalah 990–1.010 meter di atas permukaan laut (dpal). Jarak antara mahkota longsor dengan titik akhir terpanjang ke arah barat laut sekitar 600 meter. Arah dari posisi tengah mahkota longsor adalah N 190° E.

5. Curah Hujan
Kondisi curah hujan yan sangat ekstrim menjadi salah satu pemicu bencana tanah longsor di Dusun Jemblung. Curah hujan harian yang terjadi sebelum terjadi longsor sudah mencapai di atas 100 mm. Menurut informasi warga setempat, hujan lebat tersebut telah terjadi mulai dari hari Rabu sampai Jumat (10–12 Desember 2014) secara berturutturut.
Menurut data dari BMKG, curah hujan tertinggi di Banjarnegara tercatat di Sigaluh pada hari Jumat, yaitu 153 mm. Curah hujan harian yang terpantau di dua daerah sekitar Banjarnegara, yaitu Wonosobo dan Wonogiri. Di Wonosobo curah hujan tertinggi terpantau berada di Bedakah pada hari Kamis sebesar 150 mm. Di Wonogiri, curah hujan tertinggi berada di di Jati Purno pada hari Jumat, yaitu sebesar 139 mm.
Stasiun geofisika kelas III Banjarnegara yang dioperasikan oleh BMKG (Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika) mencatat curah hujan sepanjang Kamis 11 Desember 2014 mencapai 112,7 milimeter, sehari kemudian curah hujannya masih sebesar 101,8 milimeter. Dalam dua hari saja intensitas hujan yang mengguyur seluruh wilayah Banjarnegara telah sebesar 214,5 milimeter. Di waktu-waktu sebelumnya, pada umumnya curah hujan sebanyak itu membutuhkan waktu sebulan penuh. Curah hujan sepanjang 11–12 Desember 2014 di Banjarnegara berkualifikasi hujan sangat deras atau hujan ekstrim. BPPT (2015) telah melakukan kajian terhadap
rata-rata curah hujan harian di Banjarnegara pada hari-hari sebelumnya yaitu tanggal 9-11 Desember
2014, dan menunjukkan curah hujan rata-rata harian yang tinggi, yaitu di atas 100 mm .

6. Mata air terbentuk pada bagian atas dan tengah bukit Telagalele. Mata air tersebut terlihat jelas termasuk dilihat dari jarak jauh setelah kejadian bencana tanah longsor. Dari kejauhan terlihat adanya torehan-torehan pada tebing longsor membentuk alur-alur baik di bagian bawah mahkota longsor di bagian barat maupun timur. Keberadaan mataair termasuk sangat berpengaruh terhadap kejenuhan batuan yang dilaluinya. Curah hujan yang ekstrim yang terjadi terus-menerus menyebabkan debit mataair tersebut juga membesar, sehingga soil hasil pelapukan batuan yang dilaluinya menjadi semakin cepat jenuh.
Pada bagian tengah bukit juga nampak aliran air yang mengalir liar terbuang ke bawah melewati alur alami di antara reruntuhan tanah pasca terjadinya longsor (setelah hari ke-5 pasca longsor), dan makin ke bawah makin besar mengalir ke sungai di bagian barat yang debitnya cukup besar. Sementara itu lahan pada kaki bukit ditunjang oleh sistem drainase yang sekaligus berfungsi sebagai saluran irigasi untuk budidaya pertanian padi sawah (Soewandita, 2015).

7. Pola Budidaya Pertanaman/Vegetasi 
Meskipun merupakan perbukitan dengan kelerengan yang tergolong curam hingga sangat curam, perbukitan di sekitar lokasi kejadian bencana longsor telah dimanfaatkan untuk budidaya tanaman. Dari segi aspek konservasi tanah, lahan dengan kelerengan > 45% (sangat curam) tidak cocok untuk budidaya tanaman dan harus merupakan kawasan konservasi/lindung. Namun apabila dilihat dari areal terdampak longsor morfologi lahan pada kaki bukit relatif mempunyai
kemiringan lereng kurang dari 45%. Pada lahan ini dimanfaatkan untuk persawahan padi sawah pada kaki bukit hingga pertengahan dan pada kawasan yang lebih atas (upland), lahan dimanfaatkan untuk pertanian tegalan dan pola pertanian agroforestry. Pola pertanaman tegalan yaitu dengan tanaman jagung, kacang panjang, singkong, rumput gajah dan tanaman kobis. Pada pola pertanian tegalan beberapa petakan lahan disisipkan/diselingi juga pertanaman kayu/ pohon seperti secara kebanyakan tanaman sengon. Beberapa jenis pertanaman kayu juga terdapa tanaman Jabon seperti yang terdapat di sebelah timur kawasan terdampak. Pola agroforestry juga telah diterapkan pada lahan kawasan pertengahan bukit dan bagian puncak/upland. Nampak pertanaman agroforestry adalah tanaman kopi dan sengon atau tanaman salak dan sengon. Pola campuran seperti tegalan dan kebun campuran juga nampak pada bagian upland seperti pola pertanaman aren/sagu, sengon, nangka, pisang dan jagung. Sistem pengelolaan lahan dari bagian bawah hingga upland telah menerapkan sistem terasering dengan tujuan untuk konservasi tanah (Soewandita, 2015).

8. Aktivitas Manusia 
Faktor manusia seringkali menjadi faktor kunci terjadinya bencana, termasuk untuk bencana tanah longsor. Ketidakseimbangan tanah akibat salah pengelolaan budidaya manusia yang secara kumulatif dapat memicu terjadi longsor. Kepala keluarga yang tertimbun longsor mempunyai mata pencaharian bertani. Mulai dari padi sawah, jagung, sengon, rumput gajah, kopi, bambu, dan lain-lain. Mereka bertani di sekitar rumahnya dan rata-rata bukan petani penggarap melainkan mereka bertani di lahan milik mereka sendiri. Aktivitas bertani mereka juga bukan tanpa ilmu yang tidak mempertimbangkan konservasi air dan tanah. Terlihat dari pembuatan sengkedan/ terasering pada lahan miring, adanya irigasi, dan pembuatan DAM. Semangat bertani yang menyesuaikan dengan keadaan alam sangat nampak pada keseharian mereka. Namun faktor litologi yang membuat cara melakukan konservasi air dan tanah yang mereka lakukan kurang sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar