12/30/2019

Mengetahui Apa itu Sirkulasi Walker, El Nino dan La Nina di Indonesia?


Sirkulasi Walker terjadi karena gaya gradien yang berasal dari satu area tekanan udara tinggi di wilayah timur Samudra Pasifik dan satu area tekanan udara rendah di wilayah Indonesia. Selama periode musim panas belahan Bumi utara, Sirkulasi Walker di wilayah tropis Samudra Hindia menyebabkan berhembusnya angin barat di permukaan sementara di Samudra Pasifik dan Atlantik berhembus angin timur. Suhu dari ketiga samudra tersebut pun menjadi tidak simetris. Wilayah khatulistiwa dari Samudra Pasifik dan Atlantik pun memiliki suhu permukaan yang dingin di bagian timur sementara di Samudra Hindia, air yang lebih dingin berada di bagian barat. Perubaan suhu permukaan tersebut terjadi juga bersamaan dengan perubahan dari posisi kedalaman termoklin.

El Nino dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim. El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru–Ekuador (Amerika Selatan yang mengakibatkan gangguan iklim secara global. Biasanya suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin karena adanya up-welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). 

Di Indonesia, angin monsun (muson) yang datang dari Asia dan membawa banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai barat Peru–Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang. Sejak tahun 1980 telah terjadi lima kali El Nino di Indonesia, yaitu pada tahun 1982, 1991, 1994, dan tahun 1997/98. El Nino tahun 1997/98 menyebabkan kemarau panjang, kekeringan luar biasa, terjadi kebakaran hutan yang hebat pada berbagai pulau, dan produksi bahan pangan turun dratis, yang kemudian disusul krisis ekonomi. El Nino juga menyebabkan kekeringan luar biasa di berbagai benua, terutama di Afrika sehingga terjadi kelaparan di Etiopia dan negara-negara Afrika Timur lainnya. Sebaliknya, bagi negara-negara di Amerika Selatan munculnya El Nino menyebabkan banjir besar dan turunnya produksi ikan karena melemahnya upwelling.

La Nina merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina menurut bahasa penduduk lokal berarti bayi perempuan. Peristiwa itu dimulai ketika El Nino mulai melemah, dan air laut yang panas di pantai Peru – ekuador kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya kembali seperti semula (dingin), dan upwelling muncul kembali, atau kondisi cuaca menjadi normal kembali. Dengan kata lain, La Nina adalah kondisi cuaca yang normal kembali setelah terjadinya gejala El Nino. Perjalanan air laut yang panas ke arah barat tersebut akhirnya akan sampai ke wilayah Indonesia. Akibatnya, wilayah Indonesia akan berubah menjadi daerah bertekanan rendah (minimum) dan semua angin di sekitar Pasifik Selatan dan Samudra Hindia akan bergerak menuju Indonesia. Angin tersebut banyak membawa uap air sehingga sering terjadi hujan lebat. Penduduk Indonesia diminta untuk waspada jika terjadi La Nina karena mungkin bisa terjadi banjir. Sejak kemerdekaan di Indonesia, telah terjadi 8 kali La Nina, yaitu tahun 1950, 1955, 1970, 1973, 1975, 1988, 1995 dan 1999.

12/29/2019

Eksplorasi dan Eksploitasi Barang Tambang Ramah lingkungan

Eksplorasi dan eksploitasi dalam kegiatan pertambangan yang ramah lingkungan merupakan pertambangan yang aktivitasnya termasuk teknologi yang digunakannya harus mempertimbangkan hal-hal berikut ini. a. Memberikan dampak negatif sekecil-kecilnya terhadap lingkungan seperti polusi udara, tanah dan air, serta limbah beracun. b. Semua kegiatan pertambangan harus dirancang dan dioperasikan sedemikan rupa sehingga memberikan rasa aman bagi para pekerjanya dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. c. Menumbuhkan rasa tanggung jawab moral dari pemerintah dan dunia industri, sehingga kegiatan pertambangan dapat terlaksana dengan aman tanpa menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan. d. Mengelola sumber barang tambang dengan baik agar dapat dimanfaatkan oleh generasi-generasi berikutnya.

A. Pemanfaatan, Efisiensi, dan Reklamasi Lokasi Pertambangan 

1. Pemanfaatan dan Efisiensi Hasil Tambang Pemanfaatan barang tambang memerlukan modal, tenaga ahli dan teknologi. Pemanfaatan barang tambang harus dilakukan untuk kemakmuran rakyat (sesuai Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan investor asing. Secara umum, efisiensi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan sumber daya sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan prosuk sebanyak-banyaknya. Efisiensi dalam proses pertambangan meliputi biaya operasional jumlah tenaga kerja, dan jumlah kekayaan alam yang akan diproduksi. Selain itu, tindakan-tindakan untuk mengatasi limbah pertambangan harus diperhitungkan juga. Tindakan tersebut antara lain menjauhkan lokasi dari permukiman penduduk dan sumber air. Hal lainnya yaitu membangun instalasi pengolahan limbah agar tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan.

2. Reklamasi Lokasi Pertambangan

Reklamasi merupakan usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak akibat kegiatan pertambangan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Usaha lain yang berkaitan dengan reklamasi adalah rehabilitasi lahan san revegatasi. Rehabilitasi lahan adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak (kritis). Hal ini bertujuan agar lahan dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.

Adapun revegetasi merupakan suatu usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang. Tahapan reklamasi meliputi penyiapan dan pengaturan bentuk lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, pengelolaan lapisan tanah pucuk dan penanaman kembali.

B. Tata Kelola Pertambangan

Beberapa ketentuan pokok dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara adalah sebagai berikut.
1. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meiputi tahapan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.

2. Jenis perizinan yang berkaitan dengan usaha tambang adalah sebagai berikut.
a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan .
b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
c. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di suatu wilayah khusus.

3. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

4. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian termasuk pengangkatan dan penjualan serta pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

12/28/2019

MITIGASI BENCANA


Mitigasi bencana menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu: “Mitigasi Bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Indonesia adalah negara yang terletak di daerah zona bencana oleh karena itu kita perlu mempelajari apa itu mitigasi bencana sehingga dapat melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan bencana yang sewaktu-waktu dapat melanda. Berikut penjelasan upaya mitigasi bencana Gempa Bumi, Banjir dan Gunung Meletus.
1.    Mitigasi Bencana Gempa Bumi
Langkah-langkahnya :
·      Sebelum terjadi gempa
a.    Mencari tahu tentang rumah tempat tinggal apakah berada di daerah rawan gempa atau tidak.
b.    Meletakkan perabotan rumah di tempat yang aman, dan tidak mudah jatuh, atau di almari yang dipaku.
c.    Menyediakan alat komunikasi yang tahan gempa, seperti radio yang menggunakan baterai
d.   Menyiapkan kotak P3K
e.    Memahami jalur evakuasi gempa bumi
·      Ketika terjadi gempa bumi
a.    Jangan panik dan percaya akan keselamatan diri dari bencana
b.    Jika berada di dalam gedung: segera keluar dari bangunan untuk menghindari reruntuhan  material bangunan atau bisa juga berlindung dulu di bawah meja yang kuat.
c.    Jika di luar ruangan: jangan berlindung di bawah pohon besar atau di bawah tiang listrik.
d.   Tidak berdiri di atas tanah yang mudah retak, karena dikhawatirkan longsor.
a.    Jauhilah pantai karena pantai bisa berpotensi penyebab tsunami. Jika berada di daerah pegunungan pastikan daerah yang anda tempati tidak berpotensi longsor.
b.    Jika anda sedang dalam perjalanan dengan menaiki kendaraan, maka turunlah dan matikan kendaraan anda.
·      Setelah terjadi gempa bumi
a.   Keluarlah dari dalam gedung atau bangunan apabila anda masih berada didalam gedung dan agar lebih aman hindari menggunakan lift tetapi gunakanlah tangga.
b.  Periksa terlebih dahulu kondisi fisik anda jika ada yang terluka maka segera lakukan pertolongan pertama. Periksa juga kondisi sekitar anda apakah keadaan sudah aman.
c.     Berhati-hati dan waspadalah dengan lingkungan yang baru terjadi gempa, lihatlah secara saksama apakah ada pohon atau bangunan yang berpotensi roboh, jika ada maka hindarilah agar anda selamat.
d.   Usahakanlah mencari informasi tentang pusat gempa dan berbagai informasi lain yang penting melalui saluran radio jika alat komunikasi lain belum bisa berfungsi dengan baik.
2.    Mitigasi Bencana Gunung meletus
Langkah simulasi mitigasi bencana:
Sebelum letusan, status waspada:
a.   Ungsikan seluruh anggota keluarga ke tempat yang lebih aman, atau tempat yang telah diberi petunjuk oleh pihak yang berwajib atau pemerintah daerah setempat.
b.    Amankan rumah dan kendaraan
c.    Gunakan masker pelindung atau kain basah untuk melindungi saluran pernafasan dari abu.
d.    Gunakan kacamata pelindung untuk menutupi mata dari debu yang beterbangan
e.    Siapkan kebutuhan dasar di lokasi pengungsian
f.     Pantau terus informasi tentang bencana yang sedang trejadi
Saat letusan:
a.    Segera ke lokasi pengungsian bersama keluarga
b. Bertahan di lokasi pengungsian sampai ada instruksi dari pihak yang berwajib atau pemerintah daerah setempat
c.    Tenangkan seluruh anggota keluarga hingga letusan berhenti
Setelah letusan:
a.    Tetap dalam kondisi siaga terhadap gempa dan letusan susulan yang sering mengikuti letusan yang utama
b.    Siapkan anggota keluarga untuk kembali ke rumah setelah ada instruksi aman
3.   Mitigasi Bencana Banjir
Langkah simulasi mitigasi bencana banjir
a.    Jangan panik
b.    Selamatkan seluruh anggota keluarga:
- jangan biarkan anak anak dan manula berjalan sendiri
- jangan minum air banjir,karena bisa menimbulkan penyakit
c.    Ambil kebutuhan dasar, dan peralatan darurat, tempatkan dalam wadah kedap air dan tutup rapat
d. Cek saklar alur listrik. Jika masih dalam keadaan hidup segera matikan, dengan menggunakan alat bantu konduktor kering
e.   Pasang tambang di jalur evakuasi
f. Jika memungkinkan, diusahakan pindahkan pakaian, alat kerja, buku-buku penting, dan peralatan elektronik ke tempat yag lebih tinggi
g.  Pantau terus informasi bencana yang sedang terjadi
h. Buatlah pelampung dan rakit darurat dari benda benda yang bisa digunakan disekitar , antara lain galon air, botol plastik, ember plastik besar, bambu, papan kayu, pohon pisang , tong bekas, dan lain sebagainya.
i. Setelah memastikan seluruh tindakan darurat terlaksana, amankan rumah dan kendaraan dari kemungkinan penjarahan

12/24/2019

Banjir Rob di Sekolah Menengah Kota Semarang


Kota Semarang terkenal dengan rob yang selalu melanda terlebih saat musim hujan. SMA N 10 Semarang yang terletak di Kecamatan Genuk menjadi salah satu yang terdampak banjir Rob. SMA Negeri 10 Semarang sering tergenang air karena Rob. Rob yang terjadi di Kota Semarang  pada tahun 2019 berdasarkan data BMKG Maritim Kota Semarang untuk Kecamatan Genuk terjadi genangan setinggi 0-70 cm dengan intensitas pada pagi hari dan sore hari (tipe rob harian campuran condong ke ganda atau mixed semidiurnal). Puncak genangan rob terjadi pada bulan April-Mei mendekati musim pancaroba. Berdasarkan data tersebut SMA N 10 Semarang secara langsung terkena dampak banjir pasang surut karena lokasinya memang berdekatan dengan pantai utara Jawa dan memiliki kondisi morfologis berupa dataran aluvial dengan kelerengan rendah yang menjadikan kawasan ini rentan terjadi banjir.
Dari data sekolah yang diperoleh pada tahun 2019 dapat diketahui bahwa rata-rata air menggenangi kawasan sekolah setinggi 10-40 cm. Air mulai muncul  pada pagi hari sekitar pukul 07.00, siang hari sekitar pukul 12.00 atau sore hari pukul 17.00. Apabila sebelumnya terjadi hujan deras maka sekolah akan terkena banjir dan menggenangi beberapa titik seperti halnya di parkiran kendaraan, lapangan sekolah, dan halaman sekolah.  Upaya adaptasi yang telah dilakukan oleh pihak sekolah agar tidak menganggu kegiatan belajar mengajar adalah dengan meninggikan bangunan ruang kelas, masjid sekolah, dan pedestrian. Selain itu para siswa juga membawa sandal ketika air menggenangi kawasan sekolah. Banjir yang menggenangi lingkungan sekolah berdampak dalam kegiatan upacara karena lapangan tempat untuk upacara tergenang air. Banjir juga menyebabkan pelajaran olahraga terganggu karena tidak bisa memakai lapangan olahraga.
Banjir rob yang terjadi meyebabkan kenyamanan dalam belajar terganggu. Siswa menjadi sulit beraktifitas mengingat banyak genangan air di lingkungan sekolah. Lokasi sekolah yang berada di dekat kawasan pesisir menyebabkan cuaca sangat panas sehingga konsentrasi siswa dalam kegiatan pembelajaran juga terganggu. Sekolah menjadi tidak nyaman untuk kegiatan belajar karena lokasi berada di kawasan rawan Rob. Belum lagi banyak anak sekolah tidak masuk sekolah karena terganggunya alat transportasi menuju ke sekolah jika banjir datang. Rob juga berpotensi menggangu kesehatan, lokasi genangan air rentan menimbulkan bibit penyakit yang harus diwaspadai oleh warga sekolah. Terganggunya suplai air bersih dan terkontaminasinya sumber air bersih dapat menyebabkan penyakit. Memicu terjadinya penyakit menular, seperti diare, malaria, dan sebagainya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada peta dibawah ini.

12/21/2019

Mengenal Konsep Green Learning dalam Pembelajaran Lingkungan Hidup di Sekolah


Secara harfiah green learning berarti pembelajaran hijau, namun sebenarnya memiliki makna yang lebih luas dari arti harfiahnya. Green learning memiliki tujuan agar peserta didik memiliki kesadaran dan kearifan terhadap lingkungan hidup. Green learning memiliki konsep-konsep untuk menginternalisasikan nilai-nilai lingkungan ke dalam proses pembelajaran di kelas.

Green learning is a free educational guide designed to teach the region’s sixth grade students these important concepts and about how their actions affect the environment in positive and negative ways. Green learning connects students to their environment by combining educational information with colorful maps, interesting articles, puzzles, and interactive class activities to teach concepts such as watershed education, pollution prevention, stormwater management, water conservation, resource management, and prevention of sanitary sewer overflows. (http://askhrgreen.org/green-learning, di unduh pada 6 Februari 2014).

            Written according to Virginia SOL guidline by a team of experts who work in the region’s public works and public utilities departments, Green learning connects students to their environment by combining educational information with colorful maps, bold graphics, puzzles and fun activities.

Green learning merupakan pembelajaran yang memiliki kaitan erat dengan lingkungan hidup. Green learning mengkhususkan pada isu lingkungan, bagaimana cara mengatasinya dan usaha melestarikan lingkungan. Green learning bertujuan mendidik seseorang agar memiliki kesadaran lingkungan, berpikir kritis, dan mampu menjadi agen perubahan di bumi.
Dalam pelaksanaan pengajaran, tidak mustahil guru tidak mengalami kesulitan, mungkin karena ketidaktepatan dalam memilih metode mengajar, kesalahan strategi dan lain sebagainya. Dalam konteks karakteristik green learning ini, maka guru dituntut mampu menggunakan multi metode dalam arti dapat memilih metode mengajar yang benar-benar dianggap tepat dan layak untuk menyajikan materi sesuai dengan prinsip green learning. Suasana pembelajaran dalam green learning perlu dievaluasi secara bijaksana seperti aspek kelengkapan, ragam dan jenis, model, kemudahan untuk digunakan, perolehan, kecocokan dengan materi yang diajarkan, serta jumlah ketersediannya. Pembelajaran dengan menggunakan green learning harus memperhatikan sarana dan prasarana penunjang green learning.
Lingkungan manusia adalah siapa saja yang dengan sengaja atau tidak sengaja berpengaruh bagi keberhasilan belajar siswa. Guru dan kepala sekolah yang dijumpai oleh siswa diluar kelas, sebaiknya memberikan kata-kata simpati berupa dorongan belajar, sehingga siswa merasa terpacu untuk belajar lebih giat lagi, dan merasa haknya dihormati. Konsep demikian akan menciptakan ramah lingkungan dan menumbuhkan keakraban diantara warga sekolah.
Lingkungan fisik dalam proses belajar juga berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa. Lingkungan fisik tersebut misalnya keadaan ruang kelas, bangku, kursi, lapangan olahraga, tingkat kebisingan, intensitas cahaya dan sebagainya. Hal tersebut apabila tidak diatur secara baik dapat mengganggu konsentrasi siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah yang pada akhirnya bertentangan dengan karakteristik green learning. Proses belajar mengajar green learning hasilnya selalu dipertanggung jawabkan (accountable) kepada siswa, orang tua, lembaga, dan masyarakat.
Dalam pembelajaran lingkungan hidup dengan menggunakan green learning, peneliti akan memberikan materi mengenai limbah. Pengetahuan limbah dirasa perlu diajarkan dalam pembelajaran lingkungan hidup karena sesuai dengan prinsip green learning yaitu menghubungkan siswa dengan lingkungan sekitar. Limbah merupakan contoh nyata dimana siswa mampu menemukan permasalahan-permasalahan di lingkungan sekitarnya. Permasalahan limbah yang sering ditemukan di lingkungan sekitar sekolah diantaranya limbah rumah tangga, pertanian, industri dan peternakan. Limbah-limbah tersebut belum diolah dengan baik hal ini terlihat dari banyaknya limbah yang dibiarkan begitu saja tanpa adanya usaha dari masyarakat untuk mendaur ulang atau mengolah limbah-limbah tersebut menjadi produk yang lebih bermanfaat. Sikap acuh tersebut menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan tidak enak dilihat. Pengolahan limbah yang kurang efektif menyebabkan ketidaknyamanana akibat bau yang tidak sedap.
Pendidikan mengenai limbah dalam pembelajaran lingkungan hidup menjadi salah satu isu lingkungan yang sedang hangat diperbincangakan. Hal ini sesuai dari prinsip green learning itu sendiri yaitu mengajarkan siswa melalui pendekatan aplikatif agar memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah lingkungan yang terjadi di lingkungan sekitar sehingga siswa sebagai generasi penerus bangsa mampu menjaga serta melestarikan lingkungan yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.
Pengetahuan limbah yang dimaksud yaitu limbah secara umum, limbah industri berupa limbah air kelapa dan manajemen limbah. Pengetahuan limbah tersebut diharapkan mampu mengoptimalkan kesadaran lingkungan siswa dalam hal pengetahuan, sikap dan tindakan.


LONGSOR DI BANJARNEGARA


A.  Komponen Pemicu (Trigger)
Ada beberapa hal yang menyebabkan kelongsoran di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah Tanggal 12 Desember 2014, yaitu sebaga berikut ini.

1. Morfologi
Secara umum, geomorfologi terbentuk oleh perbukitan di sedang sampai terjal. Di bagian bawah perbukitan ini terdapat geomorfologi perbukitan bergelombang sedang yang dipergunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, pesawahan, dan perkebunan. Kemiringan lereng yang diamati pada daerah bukit Telagalele yang merupakan tebing sangat terjal bagian selatan (daerah awal terjadinya longsor) sekitar 75° dari puncak mahkota longsor. Kemiringan lereng di bawahnya lebih landai lagi yang digunakan untuk permukiman, persawahan dan perladangan. Ketinggian mahkota longsor adalah 990–1.010 meter di atas permukaan laut (dpal). Jarak antara mahkota longsor dengan titik akhir terpanjang ke arah barat laut sekitar 600 meter. Arah dari posisi tengah mahkota longsor adalah N 190° E.

2. Batuan 
Menurut peta geologi dari Condon et al (1975), batuan yang terdapat di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar dan sekitarnya terbentuk oleh Satuan Qiya, Qjm, Qjma, Qjo merupakan lava andesit dan batuan klastika gunungapi dari gunungapi yang tersayat dari Pegunungan Jembangan, terutama andesithiperstenaugit; setempat-setempat mengandung hornblende dan setempat-setempat basal olivin. Qiya dan Qjma merupakan lahar dan endapan aluvium yang terdiri dari bahan rombakan gunungapi, serta aliran lava dan breksi aliran dalam jumlah yang tidak begitu banyak. Satuan Qjm dan Qjo merupakan aliran lava, breksi aliran, breksi piroklastika, lahan dan endapan alluvium. Batuan penutup berupa soil di bagian atas, berasal dari pelapukan batuan breksi vulkanik. Breksi vulkanik banyak mengandung tufa dan material lain yang mudah mengalami pelapukan, sehingga bisa membentuk soil dengan ketebalannya lebih dari 5 meter. Di beberapa tempat terlihat pula soil hasil pelapukan dari batuan tufa yang berwarna coklat muda kekuningan. Lapisan soil kemudian bergradasi ke batuan breksi vulkanik yang relatif tidak terlapukan di bagian bawahnya (ukuran komponen antara pasir sampai dengan bongkah, besar komponen ratarata sekitar 5–10 cm; dengan matriks pasir halus – lanau). Di bagian bawah material lapuk (soil) yang berupa batuan breksi vulkanik, terdapat bidang batas antara batuan lunak dan batuan keras yang berfungsi sebagai bidang gelincir longsor apabila terjadi kejenuhan akibat masuknya air ke dalam pori-pori tanah.

3. Rekahan 
Batuan Sebelum kejadian longsor biasanya didahului dengan terbentuknya rekahan/retakan batuan yang terjadi di bagian atas mahkota longsor. Dijumpai adanya rekahan di atas bukit yang longsor sebagai pertanda terjadinya ketidakstabilan lereng. Rekahan ini menyebabkan air hujan yang jatuh dapat lebih mudah untuk meresap ke dalam tanah dan mempermudah terjadinya kejenuhan tanah.

4. Morfologi
Secara umum, geomorfologi terbentuk oleh perbukitan di sedang sampai terjal. Di bagian bawah perbukitan ini terdapat geomorfologi perbukitan bergelombang sedang yang dipergunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, pesawahan, dan perkebunan. Kemiringan lereng yang diamati pada daerah bukit Telagalele yang merupakan tebing sangat terjal bagian selatan (daerah awal terjadinya longsor) sekitar 75° dari puncak mahkota longsor.
Kemiringan lereng di bawahnya lebih landai lagi yang digunakan untuk permukiman, persawahan dan perladangan. Ketinggian mahkota longsor adalah 990–1.010 meter di atas permukaan laut (dpal). Jarak antara mahkota longsor dengan titik akhir terpanjang ke arah barat laut sekitar 600 meter. Arah dari posisi tengah mahkota longsor adalah N 190° E.

5. Curah Hujan
Kondisi curah hujan yan sangat ekstrim menjadi salah satu pemicu bencana tanah longsor di Dusun Jemblung. Curah hujan harian yang terjadi sebelum terjadi longsor sudah mencapai di atas 100 mm. Menurut informasi warga setempat, hujan lebat tersebut telah terjadi mulai dari hari Rabu sampai Jumat (10–12 Desember 2014) secara berturutturut.
Menurut data dari BMKG, curah hujan tertinggi di Banjarnegara tercatat di Sigaluh pada hari Jumat, yaitu 153 mm. Curah hujan harian yang terpantau di dua daerah sekitar Banjarnegara, yaitu Wonosobo dan Wonogiri. Di Wonosobo curah hujan tertinggi terpantau berada di Bedakah pada hari Kamis sebesar 150 mm. Di Wonogiri, curah hujan tertinggi berada di di Jati Purno pada hari Jumat, yaitu sebesar 139 mm.
Stasiun geofisika kelas III Banjarnegara yang dioperasikan oleh BMKG (Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika) mencatat curah hujan sepanjang Kamis 11 Desember 2014 mencapai 112,7 milimeter, sehari kemudian curah hujannya masih sebesar 101,8 milimeter. Dalam dua hari saja intensitas hujan yang mengguyur seluruh wilayah Banjarnegara telah sebesar 214,5 milimeter. Di waktu-waktu sebelumnya, pada umumnya curah hujan sebanyak itu membutuhkan waktu sebulan penuh. Curah hujan sepanjang 11–12 Desember 2014 di Banjarnegara berkualifikasi hujan sangat deras atau hujan ekstrim. BPPT (2015) telah melakukan kajian terhadap
rata-rata curah hujan harian di Banjarnegara pada hari-hari sebelumnya yaitu tanggal 9-11 Desember
2014, dan menunjukkan curah hujan rata-rata harian yang tinggi, yaitu di atas 100 mm .

6. Mata air terbentuk pada bagian atas dan tengah bukit Telagalele. Mata air tersebut terlihat jelas termasuk dilihat dari jarak jauh setelah kejadian bencana tanah longsor. Dari kejauhan terlihat adanya torehan-torehan pada tebing longsor membentuk alur-alur baik di bagian bawah mahkota longsor di bagian barat maupun timur. Keberadaan mataair termasuk sangat berpengaruh terhadap kejenuhan batuan yang dilaluinya. Curah hujan yang ekstrim yang terjadi terus-menerus menyebabkan debit mataair tersebut juga membesar, sehingga soil hasil pelapukan batuan yang dilaluinya menjadi semakin cepat jenuh.
Pada bagian tengah bukit juga nampak aliran air yang mengalir liar terbuang ke bawah melewati alur alami di antara reruntuhan tanah pasca terjadinya longsor (setelah hari ke-5 pasca longsor), dan makin ke bawah makin besar mengalir ke sungai di bagian barat yang debitnya cukup besar. Sementara itu lahan pada kaki bukit ditunjang oleh sistem drainase yang sekaligus berfungsi sebagai saluran irigasi untuk budidaya pertanian padi sawah (Soewandita, 2015).

7. Pola Budidaya Pertanaman/Vegetasi 
Meskipun merupakan perbukitan dengan kelerengan yang tergolong curam hingga sangat curam, perbukitan di sekitar lokasi kejadian bencana longsor telah dimanfaatkan untuk budidaya tanaman. Dari segi aspek konservasi tanah, lahan dengan kelerengan > 45% (sangat curam) tidak cocok untuk budidaya tanaman dan harus merupakan kawasan konservasi/lindung. Namun apabila dilihat dari areal terdampak longsor morfologi lahan pada kaki bukit relatif mempunyai
kemiringan lereng kurang dari 45%. Pada lahan ini dimanfaatkan untuk persawahan padi sawah pada kaki bukit hingga pertengahan dan pada kawasan yang lebih atas (upland), lahan dimanfaatkan untuk pertanian tegalan dan pola pertanian agroforestry. Pola pertanaman tegalan yaitu dengan tanaman jagung, kacang panjang, singkong, rumput gajah dan tanaman kobis. Pada pola pertanian tegalan beberapa petakan lahan disisipkan/diselingi juga pertanaman kayu/ pohon seperti secara kebanyakan tanaman sengon. Beberapa jenis pertanaman kayu juga terdapa tanaman Jabon seperti yang terdapat di sebelah timur kawasan terdampak. Pola agroforestry juga telah diterapkan pada lahan kawasan pertengahan bukit dan bagian puncak/upland. Nampak pertanaman agroforestry adalah tanaman kopi dan sengon atau tanaman salak dan sengon. Pola campuran seperti tegalan dan kebun campuran juga nampak pada bagian upland seperti pola pertanaman aren/sagu, sengon, nangka, pisang dan jagung. Sistem pengelolaan lahan dari bagian bawah hingga upland telah menerapkan sistem terasering dengan tujuan untuk konservasi tanah (Soewandita, 2015).

8. Aktivitas Manusia 
Faktor manusia seringkali menjadi faktor kunci terjadinya bencana, termasuk untuk bencana tanah longsor. Ketidakseimbangan tanah akibat salah pengelolaan budidaya manusia yang secara kumulatif dapat memicu terjadi longsor. Kepala keluarga yang tertimbun longsor mempunyai mata pencaharian bertani. Mulai dari padi sawah, jagung, sengon, rumput gajah, kopi, bambu, dan lain-lain. Mereka bertani di sekitar rumahnya dan rata-rata bukan petani penggarap melainkan mereka bertani di lahan milik mereka sendiri. Aktivitas bertani mereka juga bukan tanpa ilmu yang tidak mempertimbangkan konservasi air dan tanah. Terlihat dari pembuatan sengkedan/ terasering pada lahan miring, adanya irigasi, dan pembuatan DAM. Semangat bertani yang menyesuaikan dengan keadaan alam sangat nampak pada keseharian mereka. Namun faktor litologi yang membuat cara melakukan konservasi air dan tanah yang mereka lakukan kurang sempurna.

12/20/2019

PERBANDINGAN KURIKULUM PENDIDIKAN GEOGRAFI DI INDONESIA DAN AMERIKA


1.    KURIKULUM PENDIDIKAN GEOGRAFI DI INDONESIA
Geografi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan kausal berbagai gejala dan peristiwa di permukaan bumi, merupakan mata pelajaran penting yang dapat memberikan sumbangsih dalam mengatasi permasalahan dunia. Di sejumlah negara, geografi telah ditempatkan sebagai mata pelajaran inti dan telah banyak membantu proses pengambilan keputusan dalam pembangunan. Di Indonesia, materi geografi diberikan pada jenjang pendidikan dasar sebagai bagian integral dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan baru diberikan pada jenjang pendidikan menengah atas sebagai mata pelajaran tersendiri. Untuk mencapai kompetensi bidang geografi pada Abad XXI, Kurikulum 2013 telah mempertimbangkan berbagai tuntutan, masalah, dan harapan bangsa Indonesia pada khususnya dan harapan dunia pada umumnya sebagaimana yang dirumuskan pada Framework for 21st Century Learning. Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku.

A.  Kompetensi Setelah Mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial di Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi salah satu mata pelajaran di pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), sedangkan di pendidikan menengah (SMA/MA) IPS dikenal sebagai kelompok peminatan bersama-sama dengan peminatan MIPA; Bahasa dan Budaya. IPS di pendidikan dasar khususnya SD, bersifat terpadu-integrated karena itu pembelajarannya tematik. Pada kelas rendah (I,II dan III) IPS dipadukan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn, dan Matematika; pada SD/MI kelas tinggi (Kelas IV, V, dan VI) menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.  Pada jenjang SMP/MTs, pembelajarannya bersifat terpadu-korelatif, secara materi konsep-konsep ilmu sosial dalam IPS belum terikat pada tema. Pada pendidikan menengah yaitu SMA/MA  IPS menjadi kelompok peminatan, yang di dalamnya terdiri atas mata pelajaran yang berdiri sendiri (monodisipliner) yaitu Geografi, Sosiologi, Ekonomi, dan Sejarah.

B.  Kompetensi Dasar Pembelajaran Geografi di Sekolah
Mata pelajaran geografi pada jenjang SMA merupakan kelanjutan dan tidak terpisahkan dari mata pelajaran IPS yang telah diberikan di sekolah pada jenjang SD dan SMP. Oleh karena itu, pengembangan kompetensi Mata Pelajaran Geografi memperhatikan prinsip relevansi dan keberlanjutan (kontinuitas) dari kompetensi yang telah diberikan sebelumnya.
-     Ruang lingkup mata pelajaran geografi yang terinci pada tujuh butir sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu (a) literasi keruangan dan keterampilan geografi,  (b) geografi fisik, (c) geografi manusia, (d) interaksi lingkungan,(e) geografi regional, (f) pemanfaatan geografi, (g) koneksi global dan pengelolaan perubahan.

C.  Kontekstualisasi Pembelajaran Sesuai dengan Keunggulan dan Kebutuhan Daerah, dan Kebutuhan Peserta Didik
Kegiatan pembelajaran dapat disesuaikan dan diperkaya dengan konteks daerah atau sekolah serta konteks global untuk mencapai kualitas optimal hasil belajar pada peserta didik. Kontekstualisasi pembelajaran bertujuan agar peserta didik tetap berada pada budayanya, mengenal dan mencintai lingkungan alam dan sosial di sekitarnya dengan perspektif global, sekaligus menjadi pewaris bangsa sehingga menjadi generasi tangguh dan berbudaya Indonesia.
Kontekstualisasi pembelajaran geografi dapat dilakukan melalui strategi-strategi sebagai berikut.
1. Memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai contoh dan ilustrasi dalam kegiatan pembelajaran. Contohnya adalah menceritakan kondisi lingkungan dalam bentuk narasi atau menunjukkan foto tentang situasi dan kondisi lingkungan, serta memberi tugas kepada peserta didik untuk mengobservasi lingkungan sekitar.
2. Mengangkat masalah atau kasus yang terjadi di lingkungan sekitar sebagai bahan kajian dalam diskusi dan kegiatan pembelajaran berbasis masalah lainnya (problem based learning)
3. Membuat peta, menganalisis citra pengindraan jauh, membuat tulisan, dan/atau tugas lainnya tentang wilayah setempat atau wilayah lain yang berada dalam jangkauan peserta didik.
4.   Memanfaatkan sumber belajar, media pembelajaran, dan alat peraga yang diambil dari lingkungan sekitar

2.    KURIKULUM PENDIDIKAN GEOGRAFI DI AMERIKA
Tahun 1989, gubernur negara bagian dan Presiden Bush memasukkan geografi sebagai satu dari lima mata pelajaran inti dalam dokumen National Educational Goals. Riding media coattails dan federal menyetujui, kemudian National Geographic Society (NGS) mengembangkan dokumen Geography For Life (GFL) sebagai Standar Geografi Nasional, 1994. Dokumen ini berfungsi sebagai landasan utama untuk analisis yang dilakukan dalam penelitian. Dalam Tujuan Presiden Clinton tahun 2000: Undang-Undang Amerika, mengatakan bahwa geografi merupakan salah satu dari sembilan mata pelajaran inti, namun tidak diwajibkan dalam standar setiap negara dan tidak memiliki aturan khusus.

A.  Metode Analisis Konseptual Kurikulum Nasional
Menganalisis masing-masing kurikulum (isi) untuk standar geografi (konsep) menggunakan analisis konseptual. Ada 18 standar geografi nasional pada tingkat pendidikan. Masing-masing definisi konseptual yang digunakan adalah sebagai berikut:
a.   Tingkat Pendidikan: Dibagi menjadi empat tahap pengetahuan yang harus dicapai yaitu: Sebelum akhir kelas Pertama, Keempat, Kedelapan, dan Keduabelas. Variabel ini mencerminkan segmen pendidikan Geography For Life (GFL) dan No Child Left Behind Act (NCLB).
b. Kurikulum Perguruan Tinggi : Apapun yang negara sebut kurikulum mengacu pada topik dan tujuan yang tercakup dan dibahas dalam pendidikan publik mereka, khususnya kurikulum geografi. Ini dipecah lagi oleh tingkat pendidikan, dengan catatan: jika kisaran kelas tiga-lima konten dianalisis di kelas empat, jika tidak ada rincian untuk kelas satu apa yang tersedia disertakan dalam segmen kelas empat.
c.  18 standar geografi nasioal yang diidentifikasi sesuai dengan publikasi Geography For Life (GFL) tahun 1994, berdasarkan tingkat pendidikan. Standar ini harus diperkenalkan, diperkuat dan juga dipertahankan sepanjang pengalaman pendidikan seseorang.

B.  Pembelajaran Pendidikan Geografi di Amerika

Tabel 1. Praktik Geografi: Geografi untuk Kehidupan, Praktek Proyek Road Map, dan Praktik Komite Penelitian Geografi
Keterampilan, Geografi dalam Hidup
Praktik projek Road Map
Praktik, kelompok Penelitian Pendidikan Geografi
Meminta pertanyaan geografis
Berpose pertanyaan geografis
Merumuskan pertanyaan geografis
Mendapatkan informasi geografis
Mendapatkan informasi geografis
Mendapatkan, mengatur, dan menganalisis informasi geografis
Mengorganisir informasi geografis
Mengorganisir informasi geografis
Menganalisis informasi geografis
Analyzing geographic information
Menjawab pertanyaan geografis
Menjawab pertanyaan dan merancang solusi
Menjelaskan dan mengkomunikasikan pola dan proses geografis
Mengkomunikasikan informasi geografis


Tujuan Proyek Peta Jalan, mendefinisikan proyek tersebut berfokus pada praktik geografi. Tiga praktik geografis spesifik yang penting untuk dipelajari dan dipikirkan dengan mahir dalam geografi diperoleh: (1) merumuskan pertanyaan geografis; (2) memperoleh, mengatur, dan menganalisis informasi geografis; dan (3) menjelaskan dan mengkomunikasikan pola dan proses geografis. Tiga praktek Road Map Project "memperoleh informasi geografis," "mengatur informasi geografis," dan "menganalisis informasi geografis." Fokus pada "di mana" dan "mengapa ada" fenomena geografis membingkai cara geografi memandang dunia dan bagaimana pengetahuan geografis dibangun (Roberts, 2003).

C.  Kontekstualisasi Pendidikan Geografi di Amerika
Banyak guru di Amerika Serikat tidak memiliki keterampilan dasar geografi. Aspek desentralisasi standar nasional ini menempatkan pendidikan geografi pada  kerugian dibandingkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia. Kebebasan mengambil spesialisasi di sekolah swasta dapat mengorbankan mata pelajaran  geografi itu sendiri. Pendidikan geografi masih dianggap remeh. Negara-negara belum menempatkan geografi dalam kurikulum di setiap tingkatan sekolah. Pendidik perlu memahami GFL  untuk mengenalkan geografi selama  di sekolah.

Kesimpulan
Kurikulum pendidikan geografi baik di Amerika maupun di Indonesia sama-sama menggunakan pendekatan abad 21 dimana dalam pembelajaran menekankan siswa untuk berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Penilaiannya menggunakan aspek pengetahuan dan keterampilan pembedanyan hanya saja di kurikulum Amerika ditambah dengan banyak praktik sedangkan di Indonesia ditambah dengan aspek sikap baik spiritual atau sosial. Di Amerika pendidikan geografi lebih menekankan pada pengetahuan spasial (peta) Amerika saja sedangkan materi di Indonesia lebih beragam (kompleks) baik secara region, interaksi wilayah, waktu, maupun hubungan dengan manusia.
Kelemahaan dari kedua kurikulum pendidikan geografi di kedua negara ini adalah masih sedikitnya jumlah ahli geografi yang melakukan penelitian geografi sehingga perkembangan ilmu geografi tidak sepeset ilmu alam atau matematika. Selain itu geografi masih dianggap ilmu nomor dua dalam dunia pendidikan karena dianggap tidak secara langsung menaruh andil besar dalam kemajuan sebuah bangsa. Namun sekarang anggapan seperti ini sedikit demi sedikit mulai luntur mengingat pengetahuan spasial dapat membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mereka.